SAYACINTAINDONESIA — Pernikahan anak secara paksa adalah salah satu perbuatan tidak baik yang dapat mengakhiri masa kanak-kanak seorang gadis. Bagaimana tidak? Pernikahan paksa merampas pendidikan seorang gadis, kehidupan masa muda, dan banyak lagi, terlebih dengan kehamilan paksa yang jauh dari kata siap. Ini tidak hanya melanggar hak-haknya, tetapi juga mempertaruhkan nyawanya, kehidupan anak-anaknya dan masa depannya.
Apa dampak dari pernikahan anak?
Pernikahan dini memiliki konsekuensi yang dapat menghancurkan kehidupan seorang gadis. Kebanyakan, pernikahan anak mengakhiri masa kecilnya. Anak perempuan dipaksa menjadi dewasa sebelum mereka siap secara fisik dan mental. Pengantin anak sering kali dirampas haknya atas kesehatan, pendidikan, keamanan dan partisipasi. Terlebih lagi, perjodohan sering kali berarti seorang gadis dipaksa untuk menikah dengan pria yang lebih tua, kadang-kadang secara signifikan.
Anak perempuan yang menikah muda jauh lebih kecil kemungkinannya untuk tetap bersekolah, dengan dampak ekonomi seumur hidup. Mereka sering terisolasi, dengan kebebasan mereka dibatasi. Mereka berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan seksual. Pengantin anak juga berisiko lebih besar mengalami komplikasi berbahaya dalam kehamilan dan persalinan, tertular HIV/AIDS dan menderita kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu, kehamilan paksa dan melahirkan anak di usia muda, sering kali akibat perkawinan anak, ketika tubuh seorang gadis tidak cukup matang secara fisik untuk melahirkan tanpa komplikasi, juga dapat menyebabkan konsekuensi yang fatal.
Kemungkinan kematian ibu serta bayi yang lahir dari ibu remaja juga memiliki risiko kematian yang jauh lebih tinggi.
Pernikahan anak terjadi di seluruh dunia
Pernikahan anak adalah masalah global dan diperparah oleh kemiskinan. Pernikahan anak merupakan masalah lintas negara, budaya, agama dan etnis. Pengantin anak dapat ditemukan di setiap wilayah di dunia. Faktor utama yang menempatkan seorang gadis pada risiko pernikahan termasuk kemiskinan, terutama di daerah pedesaan, serta lemahnya hukum dan penegakannya, persepsi bahwa pernikahan akan memberikan “rezeki”, hukum adat atau agama, dan norma gender yang tidak setara.
Di Afrika, diperkirakan 12 juta anak perempuan masih menikah setiap tahun. Terlepas dari kemajuan dunia dalam mengurangi pernikahan anak dan kehamilan, berikut adalah negara-negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi: Niger, Republik Afrika Tengah, Mali, Mozambik, dan Sudan Selatan.
Segera akhiri pernikahan anak
Untuk menghentikan rantai pernikahan anak, kita harus bergerak dengan cepat dan tepat. Menciptakan solusi terbaik yang bisa melindungi anak-anak perempuan dengan cara penguatan hukum dan kebijakan yang melindungi anak perempuan dari perkawinan anak termasuk yang lebih lanjut memastikan bahwa kebijakantersebut baik dan diterapkan dengan benar, seperti peningkatan usia minimum perkawinan, tidak justru menyembunyikan perkawinanan.
Cara kedua dengan mengatasi kemiskinan yang menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya perkawinan anak dengan memadukan pendekatan perlindungan anak, penguatan kapasitas pengasuh utama anak, dan penguatan sistem kesejahteraan anak dalam program bantuan dan perlindungan sosial.
Tak hanya itu, memastikan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas juga tersedia untuk mencegah dan menangani perkawinan anak bagi semua anak terutama bagi kelompok anak yang lebih rentan dibanding anak lainnya.
Dan yang paling penting adalah mengubah pola pikir dengan melakukan sosialisasi kesetaraan gender dan mendoro partisipasi para anak muda untuk menggerakkan proses pencegahan dan penanganan perkawinan anak karena penerus bangsa lah yang akan menentukan bagaimana sistem kehidupan di dunia akan berlangsung.
Sumber: savethechildren.org
Gambar: Unsplash