Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah e-book yang diberikan oleh seorang penulis. Buku itu merupakan hasil karya tulisnya. Cerita didalamnya diambil dari kisah nyata, yaitu kisah hidup sebagai istri dari mentri luar negeri perwakilan Indonesia. Cerita demi cerita saya telaah hingga saya larut dalam perjuangan mereka menjadi istri yang harus mengabdi kepada suami, keluarga dan demi nama bangsa ini. Dulu betapa seringnya saya mendengar para orang tua saling membicarakan betapa enaknya bila menikahi suami pejabat. Saya yang saat itu belum paham bagaimana perjuangan para istri pejabat itu pun ikutan beranggapan bahwa enak hidup menjadi istri pejabat. Saya menjadi berpikir tidak perlu bersusah payah bekerja keras bila menjadi istri pejabat. Setelah membaca kisah para istri mentri tersebut saya tidak dapat berkata-kata, malah miris yang saya rasakan.
Bagaimana tidak? Wajar saja saya bilang miris, melihat para istri mentri tersebut harus merelakan impian karirnya, cita-citanya hanya untuk mengabdi pada suami, keluarga, dan nama baik negara ini. Rasanya saya akan hancur bila langkah saya terhenti untuk menggapai impian saya. Karena saya masih muda masih banyak yang ingin saya gapai dalam hal berkarir.
Saya rasa itu adalah sifat alamiah manusia untuk selalu melihat apa yang dimiliki orang lain. Sedangkan hendaknya kita melihat apa yang telah kita miliki dan wajib disyukuri. Bila saja nikmat mereka diambil, barulah mereka dapat mengerti dan menghargai nikmat yang selama ini diberikan pada mereka oleh yang Maha Kuasa.
Sifat alamiah manusia sangat mudah untuk iri pada seseorang hanya kerena harta, jabatan, atau bahkan pamor. Rumput tetangga lebih hijau ! tanpa mengenal atau mencari tahu cara perjuangan mereka, batu karang yang harus mereka hadapi, peluh keringat yang harus mereka peras. Ibaratkan melihat seseorang dari dasar anak tangga yang pertama, dan orang tersebut telah sampai di puncak lalu berteriak, “Enak banget sih lu udah sampai di atas sana, sedangkan gue masih di bawah nih. Angkat dong!”. Kesal bukan mendengarnya?
Padahal orang yang sudah berada di puncak tersebut, mungkin saja sudah jatuh terpeleset berkali-kali, mungkin saja ia telah menginjak duri atau digigit ular. Menakutkan? Bagaimana bisa tahu kalau jalannya terjal? Bagaimana bisa tahu kalau belum memulai dan belajar dari orang yang telah mencapai ke puncak itu? Mungkinkah bagi orang yang telah berada di puncak, mengangkat orang tersebut ke atas jika tidak orang itu sendiri yang melangkahkan kakinya ke satu anak tangga ke anak tangga berikutnya?
Saya teringat akan pantun andalan yang sering digunakan saat masih sekolah. Berbunyi,
“Berakit-rakit ke hulu,
Berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu,
Bersenang-senang kemudian.”
Memangnya bila kesempatan untuk sukses itu sudah ada di depan muka, apakah sudah siap? Saya yakin sukses akan menggedor pintu tuannya disaat yang tepat, disaat tuannya sudah siap. Lantas, apa yang sebenarnya harus dipersiapkan?
Penulis : Wenny Paulina Monika
Ilustrasi foto : Dr Vidya Hattangadi dan koleksi pribadi Wenny