Benarkah Konsumen adalah Raja? Hmm…. kali ini bahasan mengenai hal klasik yang selalu menjadi perdebatan dalam dunia bisnis.
Ok readers! Perkenalkan namaku Wenny Paulina. Saat ini aku bekerja sebagai pekerja seni dalam bidang kecantikan. Kalian bisa melihat hasil karyaku melalui akun Instagram, @paulinasbeauty. Sebagai pekerja seni, ada banyak tantangan yang kualami berhubungan dengan hasil karyaku dan tentunya manusia, sebagai penerima jasaku. Tantangan mengenai hasil karya mungkin lebih kepada corak warna, kedetilan karya tersebut, dan proses pengerjaan yang tentunya harus membuat nyaman para konsumen. Sedangkan tantangan pada manusia yang menjadi konsumen, menurutku merupakan tantangan yang terberat. Setelah serius terjun ke dunia kecantikan, aku benar-benar merasakan bahwa berhubungan dengan konsumen menjadi tantangan tersendiri. Aku ingin sedikit bercerita tentang pengalamanku yang kurang berkenan dalam pekerjaanku. Acap kali aku menghadapi konsumen yang tidak menghargai waktu kita sebagai pekerja dengan datang telat bahkan hampir sejam mengingat antrian masih panjang, sehingga uang down payment nya hangus. Lucunya, para konsumen tersebut masih sering tidak terima padahal sudah sesuai dengan kesepakatan bersama. Konsumen adalah raja, begitu kata-kata yang sering kita dengar. Tapi bukankah seharusnya raja bertindak adil?
Saat ini, tempatku bekerja adalah di Gading Serpong, Tangerang. Sejujurnya, aku sangat mencintai pekerjaanku. Aku tidak akan menjadi apa-apa tanpa adanya konsumenku. Menjadi pekerja yang senantiasa melayani konsumen akan membuat kita sangat menghargai dan menghormati para konsumen. Namun realita yang sering terjadi menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah konsumen juga senantiasa menghargai kita?
Contoh sederhana yang mungkin sering dijumpai adalah sifat dari konsumen yang menginginkan sesuatu dengan harga yang murah, namun kualitas yang tinggi. Itu memang sudah menjadi naturnya manusia. Bukankah harga menentukan kualitas?
Sebagai pekerja seni, aku berusaha semaksimal mungkin agar konsumenku merasa puas dengan hasil kerjaku yang sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, seringnya bayaran yang kudapat tidak sesuai dengan harapanku. Misalnya, untuk satu kali treatment sulam alis, guruku – saat aku mengambil sertifikasi dulu – menilai bahwa hasil sulamku seharusnya dapat ditawarkan dengan harga 3 juta rupiah. Tapi nyatanya sering kali konsumen meminta agar harganya turun, hingga menjadi 1,5 juta rupiah, setengah dari harga yang diperkirakan. Bahkan masih ada yang menawar menjadi 700 ribu rupiah! Tapi mungkin kebiasaan menawar ini sudah mandarah daging pada sebagian orang. Contoh saja, selain industri kecantikan yang kugeluti, praktik tawar menawar yang lebih sederhana saja masih dapat kita lihat di pasar. Harga sayur, lauk, bahan-bahan kebutuhan lainnya yang ada di pasar tradisional saja masih bisa ditawar dan para petani atau peternak yang menjadi korbannya, sebab harga-harga bahan tersebut sudah ditekan terlebih dahulu oleh para tengkulak.
Meskipun proses tawar menawar tetap terjadi pada pekerjaanku, aku tetap menerima para konsumen tersebut dan menaruh usaha yang maksimal untuk mengerjakannya. Orang-orang pasti akan mengatakan, “yaudah, kenapa mau terima? mereka bukan segmen-mu berarti.” Sebenarnya, ingin sekali aku rasanya menerima konsumen yang cocok dengan standar harga yang telah ku tetapkan. Namun, apa daya, ada banyak hal yang harus aku tanggung. Untungnya, aku bekerja sendirian tanpa karyawan.
Tantangan ini terkadang membuatku merasa pekerjaanku seolah kurang dihargai. Ibuku yang sudah lama di negeri Paman Sam, memberitahuku mengenai para pekerja kecantikan di sana. Harga para pekerja kecantikan tersebut sebanding dengan kualitas hasil dan servis yang diberikan pada konsumen. Para konsumen juga cukup menaati peraturan yang telah disepakati bersama. Aku pun mencari tahu berapa harga untuk treatment sulam alis yang berlaku di sana. Ternyata, bayarannya cukup setimpal dengan karya yang dihasilkan bagi seorang pemula. Dimulai dari 350 dolar amerika setara dengan 5,5 juta rupiah. Bisa dibayangkan, bila karya yang dihasilkan lebih dari kemampuan seorang pemula akan jadi berapa upahnya?
Perbandingan ini rasanya ingin membuatku pindah ke sana untuk berkarier dan belajar, ditambah lagi dengan gelar yang kusandang sebagai artist lulusan dari Akademi Phi, tentunya akan sangat membantuku untuk mendapatkan kepercayaan dari konsumen. Di luar itu semua, sekarang aku mengerti alasan beberapa orang yang lebih memilih untuk mengabdi ataupun bekerja dan berkarya di negara lain. Pekerjaan atau karya mereka lebih dihargai di sana. Bukannya tidak mencintai negeri sendiri, namun rasa menghargai yang rasanya sudah cukup pudar kurasakan di negara ini. Kuharap suatu hari nanti aku, kamu, dan kita akan belajar artinya dihargai dan menghargai. Untuk saling menghargai memang membutuhkan proses dan waktu. Tetapi bila kita menjemput waktu lebih cepat untuk mendapatkan apa yang ingin kita raih , mengapa tidak ?
Penulis : Wenny Paulina Monika
Foto : Koleksi Pribadi