Saya dan papa sedang melaju ke rumah nenek pada suatu pagi itu. Jarak rumah kami dengan rumah nenek sekitar 7 kilometer. Jaraknya tersebut cukup untuk kami menggelar perbincangan banyak hal. Saya membicarakan tentang impian dan ilmu yang saya dapatkan dari hasil webinar tadi malam. Sepanjang jalan saya juga memperhatikan kondisi jalanan yang sepi akibat pandemik virus korona yang sedang mewabah di Indonesia. Jalanan begitu hening tak seperti biasanya.

Tak berapa lama, kami sampai di rumah nenek. Saya melihat nenek sedang duduk di kursi kayu ruang tamu dekat pintu masuk rumah. Di usianya yang sudah senja, semangatnya untuk mengurus rumah masih membara. Saya sayang sekali dengan nenek yang telah berjasa merawat saya sejak saya berusia 5 tahun, setelah kepergian mama ke negeri paman Sam. Beliau adalah ‘orang tua” pengganti bagi saya.

Sudah agak lama memang saya tidak berkunjung ke rumah nenek. Seperti cucu lainnya, hal pertama yang saya cari dahulu adalah makanan. Saya menyapanya sambil berlalu melewatinya untuk mengambil makanan ringan yang tersedia di meja makan. Terlihat dari sudut mata saya, dia memperhatikan saya. Saya akui memang sejak saya kecil, saya memiliki tubuh yang lebih ‘berisi’  dibandingkan kakak dan adik saya. Kunyahan saya terhenti ketika nenek mengatakan sesuatu dengan penuh amarah.

“Kamu gendut sekali sih! Mentang-mentang di rumah terus dan sudah gak ada kerjaan, bukannya olahraga, malah makin bengkak badanmu! Gadis kok kayak orang yang sudah punya anak.” kata nenek dengan membentak. Nenek mengucapkan kata-kata itu dengan bahasa daerahnya. Sebenarnya esensi arti dari yang diucapkannya dalam bahasa daerahnya lebih menyakitkan.

Pagi itu seketika berubah drastis ! tak seindah pagi yang saya bayangkan. Hati saya merasa sudah tidak ada di sana lagi dan ingin segera bergegas pulang. Bahkan papa dan paman saya yang ada di rumah nenek saat itu, turut mengiyakan dan mengatakan hal serupa dengan apa yang dikatakan oleh nenek. Pahit yang saya rasakan….namun  kemana saya harus mengadu?

Saya berdiri tertegun kira-kira sejauh 2 meter dari tempat nenek duduk dan tersenyum pahit dengan tatapan mata kosong ingin menangis. Sedih sekali rasanya bila niat baik awal saya dibalas dengan kata-kata yang semestinya tak layak ketika saya akan memulai pagi. Saya paham rasanya bila dicemooh hanya karena gendut, karena pipi chuby, karena muka jerawatan, karena perut bergelambir, karena ketiak hitam, karena bulu tangan dan kaki begitu lebatnya, atau kadang karena kulit saya tidak putih itu menyakitkan. Semua cemooh orang lain atas rupa diri saya terkadang membuat saya membenci diri sendiri. Saya juga sadar bahwa saya tidak memenuhi standar kecantikan yang menjadi standar media TV maupun media publik komersil lainnya.Di perjalanan pulang ke rumah, saya tersadar bahwa dipenghujung hari, saya selamanya akan tetap  saya.

Dipenghujung hari saya yang akan menemani diri saya sendiri, saya yang akan memuji diri saya sendiri, pikiran saya sendiri yang akan membawa saya berkelana jauh, dan hati saya yang akhirnya akan selalu mencintai diri ini. Karena hati yang lemah lembut ini yang akan menghubungkan saya dengan manusia, menghubungkan saya dengan Yang Maha Kuasa.

Saya rasa wajar jika kita bersedih dicemooh hanya karena fisik kita tidak sesuai standar ekspektasi orang lain. Saya akui, akibat perkataan mereka yang mencemooh kekurangan pada fisik saya, mengakibatkan saya menjadi kurang percaya diri hingga akhirnya terkadang menjadikan saya kufur nikmat dari Tuhan.

Terlepas dari itu semua, berapapun usia kita, bagaimanapun bentuk fisik kita, kita harus ingat bahwa setiap perkataan negatif dari seseorang mengenai fisik kita, menandakan betapa dangkalnya isi dari kepala orang tersebut. Memang sih penilaian seseorang pada kita biasanya dari mata jatuh ke hati. Tapi kecantikan yang dilihat oleh mata adalah semu, hanya kecantikan hati yang akan tinggal selamanya dan selalu dikenang. Kita tak mungkin sempurna, karena kesempurnaan hanya milik yang kuasa. Bersyukur akan rupa kita , tidak perlu kita operasi ini dan itu, suntik ini dan itu. Tidakkah sia-sia uang dan tenaga yang kita buang hanya untuk menyenangkan mata orang lain? Hanya untuk memenuhi standar kecantikan orang lain?

Andai saja, setiap manusia di dunia ini, baik keluarga dan teman kita lebih memikirkan perasaan seseorang sebelum mengatakan hal negatif yang dapat merusak dan menodai hati serta pikiran, mungkin tidak akan ada yang namanya depresi, benci, tangisan di pipi, atau hati yang tergores karena sepatah kata yang merusak jiwa. Daripada sibuk menyenangkan orang lain, sudahkah kita membahagiakan diri sendiri? Kapan terakhir kali kamu merasa bahagia? Jangan lupa, kita harus bahagia supaya kecantikan hati itu terpancar dan membekas selamanya!

 

Penulis : Wenny Paulina Monika

Foto : Koleksi pribadi

SHARE
Previous articleThe Wenny talk about today : Sukses is RICH ?
Next articleUFC 249 is BACK !!
I am the owner and founder of SCI MEDIA www.sayacintaindonesia.com. With a strong background as a media writer since 1994 from various magazines and newspapers and an independent writer for non-fiction books I have launched built me to have excellent skill in communication with people. I also have the skill to build corporation and personal images such as being coach for beauty contest and working as Artist Manager. I have experience gathering information to write personal biography books along with speaking at seminars and mentoring young women. I was affiliated with more than 50 organizations mostly about women empowerment I was a leader for some projects in Indonesia Ministries. I handled the PR of my party in the presidential election. I have worked with seminars, workshops, talk shows from various topics such as healthy lifestyle, how to become good writer, and others.