SAYACINTAINDONESIA – Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki tradisi keberagamaan yang sangat plural, tidak hanya agama resmi yang bertahan, tetapi juga kepercayaan lokal dan tetap bertahan hingga kini. Kepercayaan lokal dengan system ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat hingga kini, bahkan jauh sebelum negara Indonesia merdeka.
Negara Indonesia pun bisa dibilang sebagai negara yang strategis dan paling baik dalam penyebaran agama. Sebagaimana terlihat dari peninggalan leluhur yaitu dengan ditemukannya dolmen, menhir, serta tempat-tempat yang biasa mereka lakukan untuk beritual hal ini dapat dipastikan bahwasanya mereka ialah orang-orang yang memiliki karakter yang sangat spiritual. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat religious, jika bukan, tidak mungkin agama bisa berkembang di Indonesia.
Meskipun tak berdaya dalam kehidupan sosial keagamaan, ekonomi dan politik, namun pengikut kepercayaan lokal ini mengalami perkembangan, pasang surut, demikian pula halnya dengan kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Jawa Barat. Hal itu terkait dengan adanya perubahan-perubahan baik desakan dari dalam dirinya sendiri, maupun desakan perubahan yang diakibatkan karena adanya perkembangan di sekitarnya, yaitu perubahan kehidupan social keagamaan dan kehidupan sosial politik yang terus berubah.
Dampak yang terasa bagi mereka yang menganut kepercayaan lokal adalah adanya diskriminasi administratif, agamis dan politis, sebagaimana yang terjadi selama ini seperti halnya waktu lalu, dimana status agama di dalam kartu identitas (KTP) bagi mereka penganut kepercayaan local di tulis hanya dengan tanda “-“ (strip)
Kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan aliran yang dikembangkan oleh Pangeran Madrais yang hidup sekitar tahun 1832-1939 atau bisa dikenal dengan Pangeran Madrais Alibasa Widjaya Ningrat berasal dari keturunan Pangeran Alibasa. Dalam sejarahnya yang panjang, kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan tidak dapat dipastikan. Namun didalam catatan sejarah berdirinya kepercayaan Sunda Wiwitan ini tercatat pada tahun 1848 yang berada di Cigugur Jawa Barat. Penanggalan yang ditetapkan ini berawal dari peran pentingnya Madrais dalam penyebaran kepercayaan Sunda Wiwitan lewat pengembaraan yang dia lakukan. Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan hal penting dalam sejarah Sunda Wiwitan, karena dari pengembaraan itulah kepercayaan Sunda Wiwitan dan pokok-pokok ajarannya lahir. Seperti ajaran tata krama welas asih, pundak rusuk, mengajarkan yang rahmatan lil alamin, serta mengajarkan taqwalitas
Dari Cigugur, Jawa Barat ini berkembanglah ke berbagai daerah penyebaran yang telah dilakukan, seperti Purwakarata, Majalengka, Indramayu, bahkan DKI Jakarta dan daerah lain disekitarannya. Dalam sumber catatan, dapat diperkirakan pengikut didalam kepercayaan Sunda Wiwitan ini sebanyak 100.000 orang, namun dari itu semua hanya yang tercatat didalam buku cacah jiwa sebanyak 25.000 orang. Karena pada dasarnya Sunda Wiwitan tidak berfokus kepada penyebaran melainkan kepada penyadaran. Ketika kita mulai menyadari bahwa kita sebagai manusia harus memahami hukum atau kodrat hukum kesadaran akan Kehendak Yang Maha Kuasa,
Selama pengembaraan Madrais dalam menyebarkan Sunda Wiwitan ini terdapat berbagai macam rintangan. Selama hidupnya, Pangeran Madrais itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat padahal Belanda khawatir dengan pengaruh Madrais yang semakin meluas dalam membangun perlawanan kepada Belanda melalui ajaran Sunda Wiwitan yang disebarkannya. Namun Pangeran Madrais berhasil pulang ke kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan Islam kepada rakyat dan mengajarkan pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama. Dengan banyak rintangan yang dihadapi oleh Pangeran Madrais, tidak menjadikan pengikutnya putus asa ataupun menyerah, melainkan membuat pengikutnya semakin solid untuk terus menjaga dan mempertahankan apa yang sedang diperjuangkan oleh pemimpinnya.
Sepeninggal Madrais tahun 1939 tepatnya pada tanggal 18 sura 1873 tahun jawa, komunitas ini dilanjutkan dipimpin oleh Pangeran Tedja Buana Alibassa. Pada masa Pangeran Tedja Buana Alibassa juga tantangan yang dihadapi cukup berat dimana berhadapan dengan pemerintahan jepang yang menganggap aliran Sunda Wiwitan ini sebagai pengikut atau mata-mata dari Belanda. Tahun 1964 oleh kelompok tertentu, komunitas Muslim yang mendapat julukan agama Jawa Sunda ini difitnah sebagai komunitas PKI (komunis). Dan kelompok Muslim lainnya terprovokasi dan menyerangnya. Akhirnya, komunitas keturunan Madrais ini terpecah menjadi 3, yaitu ada yang tetap sebagai Muslim, ada juga yang masuk agama Protestan dan yang terbesar masuk agama Katolik.
Upaya yang dilakukan tersebut untuk menyelamatkan para pengikutnya yang di buru oleh kelompok PKI yang dianggap sebagai aliran sesat. Padahal Sunda Wiwitan pun bukan juga ingin membangkitkan paham primordialisme, ada makna dibalik kata Sunda itu sendiri, sebagaimana sesuai dengan makna filosofinya yaitu Sunda berarti Bodas Bersih Erlang Endah, bagaimana kita berusaha menjadi manusia yang selalu memiliki pemikiran jernih, perasaan yang bersih, dan perilaku yang suci.
Seiring berjalannya waktu kepercayaan Sunda Wiwitan kembali dibuka pada masa pemerintahan kepresidenan Gus Dur. Wafatnya pangeran Tedjabuana pada tanggal 5 April 1978 dan kemudian diteruskan kembali oleh anak kedua belian panegran Djati Kusuma. Yang saat ini masih menjabat sebagai pemimpin Agama sunda wiwitan saat ini.
Buat mereka yang tidak mempercayai agama, mereka tidak memiliki hak untuk patuh pada apapun apalagi harus mengalami paksaan untuk mengikuti suatu agama tertentu. Begitupun dengan Agama Sunda Wiwitan, yang tidak memaksa siapapun untuk menjadikannya keyakinan mereka. Karena sesungguhnya agama adalah pilihan diri sendiri.