Cintailah Negara Dimana Kamu Berpijak
Ibunda dari Khloe Broussard ini adalah anak pertama lulusan kedokteran Universitas Tarumanegara angkatan 2000. Sejarah hidup yang membawanya tinggal di Amerika saat ini dimulai pada tahun 2000. Saat itu Ibunda Novi Broussard tinggal dan memiliki salon yang terletak di California. Ketika itu ia sudah berusia 18 tahun lebih, Ayah dan Ibunya hidup terpisah sejak ia berusia 13 tahun, namun tak membuatnya menjadi pribadi yang lemah.
“Sang papa membesarkan aku seorang diri selama beberapa tahun, setelah itu papa menikah lagi dengan ibu tiriku. Mereka bahu-membahu membesarkanku dengan penuh kasih sayang”
Di tahun 2005, Novi bertemu dengan Ron Broussard ketika ia sedang berlibur dan menengok Mamanya di California untuk yang kesekian kalinya. Novi sendiri tinggal bersama Ayahnya di Jakarta, seringnya ia berkunjung ke Amerika selain untuk liburan dan menjenguk sang Ibu, juga lantaran ia memiliki kisah sedih dan tragis yang dialami saat di Indonesia.
“Waktu itu saya ingat betul di tahun 1998 saat ada gejolak politik di Indonesia yang dikenal dengan Reformasi, teman sekelasnya ditemukan tewas bersama Ibunya akibat dibakar masa. Mereka berdua adalah keturunan etnis Tionghoa, seperti juga saya. Tidak tahu dan tidak ingat persis apa dan mengapa kejadian itu menimpa mereka, namun santer terdengar saat itu etnis Tionghoa menjadi sasaran kekerasan yang tak terbendung. Kejadian ini sangat mengguncang diriku sebab saat inilah, aku sadar kalau aku BEDA dan TIDAK diterima di Indonesia,” ungkap Novi dengan sedih mengingat peristiwa pembakaran oleh masa saat Reformasi Mei 1998. Kampusnya menjadi saksi kebrutalan masa. Lantaran kampus tersebut banyak memiliki mahasiswa mahasiswi keturunan etnis Tionghoa.
“Tidak ada niat membenci atau balas dendam, tapi saya merasa ini tidak adil. Sebagai keturunan Tionghoa, saya tidak bisa memilih terlahir sebagai keturunan Tionghoa. Namun, orang akan terus menerus melihat saya sebagai keturunan etnis Tionghoa yang kelak akan dibawa pula oleh anak dan keturunan saya,” papar Novi yang mungkin atas dasar itulah ia memutuskan untuk kelak jika menikah dan punya anak, anaknya tidak akan jadi warga negara Indonesia, kalau tidak, ia tidak akan punya anak. “Aku tidak memutuskan untuk menikah dengan pria asing atas dasar ini, cuma kebetulan saja dapatnya orang asing,” akunya yang setelah meninggalkan Indonesia kemudian menikah dengan pria asing.
Saat liburan yang kesekian kalinya di California, di tahun 2005, ia bertemu Ron dan mereka pun berpacaran hingga 2 tahun sebelum memutuskan akhirnya mereka menikah. Di tahun 2007, saat ia baru lulus kuliah kedokteran, ia memutuskan untuk ikut Ron pindah ke Arizona, yang cuacanya sangat paanas hingga 113 derajat dan AC non stop.
Sebagai lulusan kedokteran, ia harus menjalani ujian negara 3 tahap. Ron yang telah memiliki satu anak sebelum menikah dengan Novi, saat itu tengah dilanda depresi lantaran anaknya meninggal. Masa-masa sulit yang dialami Ron, dialami pula oleh Novi. “Pada saat sulit itu, saya juga memiliki masalah dengan diri saya sendiri. Selain saya harus beradaptasi karena pindah negara dan juga hidup berkecukupan di Indonesia, tiba- tiba, saya yang kutu buku, harus pindah ke negara baru, suasana baru dan tingkat kesulitan yang tidak sederhana,” jelas Novi mengenang masa sulit saat membina rumah tangga bersama Ron.
“Aku memutuskan untuk tidak menjadi dokter di US, karena ingin lebih dekat dengan keluarga, ternyata biarpun tidak jadi dokter, semua yang aku pelajari tetap terpakai disini,. Sekarang ini aku senang dengan profesiku, karena aku masih punya banyak waktu untuk keluarga dan diriku sendiri,” Pindah dari Arizona ke California membuat Novi dan Ron harus berbagi tugas. Ron memiliki profesi sebagai carpenter dengan penghasilan yang cukup bagus. Namun, pekerjaannya yang berat luar biasa membuat Ron terkena cedera punggung saat bekerja, sehingga segalanya berubah.
“Suatu hari, Ron tertarik untuk berbisnis sepeda antik keluaran tahun 1950-1970. Saat itu, kami sudah tidak di California, tapi pindah ke Oregon. Saya dan Ron senang pergi camping jadi kami memutuskan pindah ke Oregon lantaran alamnya bagus dan kami jatuh cinta disana sehingga kami memutuskan menetap disana sembari memulai bisnis sepeda antik,”
“Di Oregon, kami tinggal di camper ( sejenis trailer atau mobil besar sebagai tempat tinggal )selama 6 bulan, bertiga dengan 2 anjing. Masa-masa sulit di bidang ekonomi, tak menyurutkan langkah kami untuk tetap menjalani hidup secara bahagia. Mencari kerja, mencari tempat tinggal dan teman baru cukup sulit tapi kami jalani juga.” Novi jiga menceritakan pengalaman menariknya ketika di Bullhead City Arizona, “Bahkan saking tidak mampu, kami tidak bisa membayar gas dan masak menggunakan rice cooker. Pengalaman ini cukup lucu karena aku jadi belajar untuk tidak menyerah, dan untuk lihat kelucuan dalam kesusahan,” ujar Novi si kutu buku yang sejak kelas 3 SD sudah mengenakan kacamata -3,5.“Tahun lalu saya menjalani operasi PRK (mirip dengan lasik), sehingga sekarang saya terhindari dari penggunaan kacamata,”
Novi, yang hidup berkecukupan di Jakarta, Indonesia, dimana sehari-hari diantar supir, harus belajar menyetir. “Kami bisnis sepeda tapi saya sendiri tidak bisa naik sepeda. Di usia yang cukup matang, saya harus belajar dari nol dengan cepat agar bisa survive.”
Lepas 6 bulan tinggal di camper, ibu dari Ron memiliki kawan yang berbisnis properti. Dalam satu lahan terdapat dua rumah, Ron berniat bekerja bersama kawan Ibundanya agar dapat menyewa rumah dan tidak tinggal di camper lagi. “Saya bersyukur bisa tinggal di Amerika dimana pemerintahannya banyak membantu dari mulai susu untuk anak saya, hingga sekolah. Sayapun merasa bersyukur sekali bisa tinggal di negeri yang sangat indah ini, setiap aku berpaling aku melihat alam ciptaan Tuhan yang luar biasa indahnya. Prinsip saya, tinggallah di negeri yang kamu cintai dan yang mau kamu perjuangkan. Kalau tidak suka tinggal di U.S apapun alasannya, dan mau tinggal di Indonesia atau negara lain, janganlah buang waktu. Setiap orang harus bisa menikmati negeri dimana mereka tinggal. Jangan banyak alasan. Kalau suami maunya tinggal disini, bicarakan baik-baik, kalau memang ia suami yang baik pasti akhirnya bisa mengerti. Banyak juga yang bersuamikan orang asing pindah ke Indonesia. Di Amerika, sekolah lebih baik dan lingkungan lebih baik dari Indonesia, kesehatan pun lebih terjamin. Jadilah warga Amerika yang baik. Bila sudah menjadi U.S Citizen, jadilah warga yang baik dengan membayar tax, bicara bahasa Inggris yang baik dan benar dan pelajari sejarah serta kebudayaan, explore semaksimal mungkin, drive yang baik, cari karir yang baik. Kalau negerimu maju perang, anda juga maju perang. Jangan petentang petenteng bilang jadi U.S Citizen, pas main ke Indonesia cuma karena tidak mau bayar biaya visa maka pakai paspor Indonesia atau mau untung sendiri. Karena nanti kalau di Indonesia terjadi masalah, mau mintabantuannya kemana? Pastilah ke U.S Embassy kan? Jadi pilih mana yang terbaik dan konsisten,” ucap Novi tentang prinsipnya sebagai warga Amerika yang baik.
Namun, Novi tetap mengikuti berita tentang Indonesia dan perkembangannya, salah satunya ketika Aceh megalami Tsunami. Banyak anak-anak yang menjadi korban Tsunami akhirnya berpredikat yatim piatu. “Saya saat itu menangis melihat berita tersebut di internet, ada niat untuk menyumbang anak-anak korban Tsunami biarpun kecil tapi bermakna karena masih anak sekolah. Namun, ketika saya berniat untuk menyumbang, terbentur persyaratan harus muslim. Sekali lagi aku diingatkan kalau aku BEDA dan TIDAK diterima,” Novi terdiam dan menahan tangis. Ia tidak bisa lupa kejadian itu seperti mengingatkannya pada saat Reformasi tahun 1998. “Apakah mereka memilih lebih baik miskin, tidak sekolah dan kelaparan lantaran dibesarkan bukn oleh orangtua asuh yang bukan muslim?” tanya Novi.
“Kalau pendapat saya tidak diterima, buat saya tidak masalah, saya tetap mencintai Indonesia. Memang pada kerusuhan 1998, saya bukan merupakan korban, tapi kawan dan saudara saya menjadi korban. Mereka trauma hingga saat ini. Apa yang terjadi apabila hal itu menimpa saya dan orangtua saya tidak mampu untuk membawa saya ke Singapura, keluar dari Indonesia? Bisa jadi, saya akan jadi korban juga dan punya trauma seperti mereka.” ucapnya disertai kesedihan yang tak terjawabkan.
Saat ini Novi bekerja di perusahaan farmasi dan memiliki karir yang cukup baik. “Buat saya, manusia hidup harus selalu mau belajar, we are students for life. ApalagI bila menetap di Amerika, belajar tidak ada hentinya, dari masak, membersihkan rumah, menyetir, mengurus anak, termasuk tidak berhenti dan puas dengan bekal akademis. Saya dari kedokteran, lantas saya belajar jadi phlebotomist dan akhirnya certified pharmacy technician serta merupakan online jewelry boutique owner,” Novi pun aktif dalam Alzhaimer Association and Humane Society, “Kalau saya ada rejeki selalu sumbang ke mereka,” ujar Novi yang berjiwa sosial dan peka terhadap penderitaan dan kemiskinan walaupun ia sangat kecewa tidak bisa mendonasi pada anak-anak korban Tsunami. “Ada sakit hati yang luar biasa dan tidak bisa hilang saat itu. Seketika saya langsung tutup buku dan cek lalu saya buang semuanya. Sejak saat itu, saya tidak pernah sumbang apapun ke Indonesia atau Asia. Dalam beberapa tahun ini aku juga selalu adakan undian beberapa perhiasan dari butik onlineku dan hasilnya disumbangkan untuk Alzheimer Association,” ujar Novi memperkenalkan butik onlinenya (www.novisboutique.com)
Kini Novi telah hidup dengan bahagia bersama Khloe putrinya dan bekerja sebagai career woman di perusahaan pharmacy. “Saya bekerja dari jam 8 pagi hingga 5.30 sore. Di tahun pertama,saya langsung mendapat promosi dan dianugerahi Legend Award oleh supervisor saya.” ucap Novi tidak putus penuh syukur. “Bulan Sept 2016 ini aku juga sudah dapat promosi lagi, sekarang ini aku jadi “lead” di teamku dan tugasku mencakup training dan memimpin anggota teamku.”
“Perempuan harus realistis, bila harus berjuang, harus siap. Tidak selamanya hidup itu indah. Kita tidak bisa hanya berharap nunggu uang dari suami. Pendidikan penting tapi tak kalah penting adalah sikap dan mental.” begitu pendapat Novi tentang perempuan yang kian hari kian banyak ingin menikah dengan pria asing dan tinggal di luar negri. “Sampai saat ini saya belum sempat berkunjung lagi ke Indonesia, tapi segera pasti pulang karena saya rindu sekali sama Papa dan mama tiri saya, Tante Rina. Papa selalu jadi idola saya dan Tante Rina selalu dekat sekali di hati saya karena biarpun saya tidak memilih Indonesia sebagai negara saya karena saya menikah dengan Warga Negara Amerika, demikian pula anak saya berkewarganegaraan Amerika, tapi wish all the best for Indonesia agar senantiasa baik di mata internasional.” demikian harapan Novi yang walaupun sudah bertahun-tahun tidak berkunjung ke Indonesia lantaran kesibukannya, namun kelak ia berharap suatu saat akan mengunjungi Indonesia negara kelahirannya.