Ayi Putri Tjakrawedana, nama yang terlahir di Jakarta dan berdarah Banyumas membawa saya untuk melihat, memahami dan mencintai tanah leluhur tempat ayah lahir dan besar, Banyumas dan Cilacap
Sejak kita mulai mengenal bangku sekolah, kita diharuskan menerima kondisi dan fakta.
Sekolah merupakan ‘dunia kecil’ yang pertama kali kita temui dalam hidup.
Dunia kecil dalam arti, kita punya tempat dimana kita merupakan bagian dari tempat itu. Yaitu sekolah. Dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Universitas adalah ‘dunia kecil’ kita.
Kalaupun ada yang tidak pernah mengenal bangku sekolahan, maka bukan berarti dia tidak pernah punya dunia kecil. Bisajadi kolong jembatan merupakan dunia kecilnya, atau terminal atau stasiun atau tempat-tempat lain yang pertama kali membawa kita ‘keluar’ dari rumah.
Bertemu dengan orang yang awalnya asing, seperti teman baru, guru dan juga orang-orang lainnya seperti penjaga sekolah, ibu kantin tempat kita jajan hingga preman atau tukang palak di sekitar sekolahan. Semua itu dunia kecil kita yang terus dan terus membesar.
Karena dunia yang sesungguhnya adalah kumpulan dari berbagai dunia-dunia kecil yang ada di sekitar kita hingga kita meninggalkan dunia kita menuju sang Khalik.
Tulisan saya ini bukan untuk menggurui, tidak juga soal bicara benar salah dan menceramahi dengan nuansa agama tertentu. Tidak. Bukan tugas dan keahlian saya. Masih banyak yang mampu ketimbang saya. Sebab dalam usia separuh abad, saya masih terus belajar sekaligus berdamai dengan kumpulan dunia-dunia kecil saya.
Saat sekolah, saya termasuk anak yang tidak pintar. Bukan berarti bodoh ya, saya dapat nilai pas saja. Tujuh itu sudah membuat saya bangga. Perkara Bapak saya marah, sebab lima kakak saya semua biang juara kelas, itu saya perhatikan namun apa daya saya emang paling banter dapat tujuh.
Itulah awal saya harus menghadapi galau dalam hidup karena sekolah jadi beban, bukan fun (senang-senang).
Padahal harusnya usia sekolah tidak boleh sedih karena dimarahi atau dipaksa belajar (setidaknya itu pendapat saya. Anak memang harus belajar, tapi belajar dalam suasana tidak takut atau dimarahi).
Maka sayapun untuk mengimbangi ‘kebodohan’ saya, saya mencari cara lain dengan senang menyanyi dan menjadi juara menyanyi. Kata kawan-kawan suara saya indah dan merdu. Mereka senang dan guru-guru bangga.
Radio Republik Indonesia ( RRI ) sering minta saya menyanyi dan mendapat bayaran Rp 5.000 tahun 1976 (lima ribu rupiah sekali isi acara di radio satu-satunya milik pemerintah). Sampai saya juara menyanyi di TV yang diasuh jawara pencipta lagu anak-anak Bapak AT Mahmud almarhum.
Dan tanpa saya sadari saya diminta mengisi lagu untuk pembukaan film yang dibintangi oleh Christine Hakim, seingat saya berjudul Kembali ke Desa. Dan entah bayarannya berapa yang terima Ibu saya, tapi saya senang-senang saja.
Tiap ke sekolah, kawan-kawan melihat saya bagai artis cilik. Saya yang bodoh mendapat nilai merah untuk Cerdas Tangkas (sekarang Matematika) jadi merasa sekolah tidak ada beban. Nilai jelek berangsur membaik.
Walau saya cuma juara 3 ( disbanding sebelum nya paling urutan 25 atau 30 dari totak 48 murid di kelas ).
Saya juga pernah dinobatkan sebagai None Jakarta Barat sehingga mudah bertemu bapak Gubernur Ali Sadikin beberapa kali dan juga berani tampil di publik penuh percaya diri.
Menginjak kuliah, saya masih bodoh. Kredit semester selalu dapat IP ( index prestasi ) 2 atau 2 koma sekian. Sungguh nilai yang hina. Artinya kepandaian saya dibawah rata-rata yang lain.
Saya kuliah di Universitas Indonesia. Top bukan ? Walau dari SD hingga SMA saya bodoh tapi kuliah bisa masuk UI. Beruntung ? Bisa jadi. Katanya, orang pandai kalah dengan orang cerdas. Orang cerdas kalah dengan orang cerdik. Orang cerdik kalah dengan orang beruntung.
Maka anggap saja saya yang tidak pandai, cerdas dan cerdik, cuma punya keberuntungan. Deal ! Nggak apa-apa. Karena saya memang yakin Tuhan sayang sama saya yang apa adanya.
Dan keyakinan saya, keberuntungan hanya milik orang yang disayang Tuhan. Saya waktu kuliah memilih masuk ke kumpulan Pencinta Alam. Saya mau beda. Saya mau mengulang kebiasaan saya bahwa sekolah atau kuliah harus fun. Tidak jadi beban. Tapiiii ingat, biasakan diri selalu bertanggungjawab.
Maksud saya, ketika memutuskan memilih, kita bisa benar dengan pilihan kita sehingga kita happy. Tapi bisa juga pilihan kita salah, sehingga membuat kita nelangsa. Itu makanya kata orang hidup seperti judi. Bisa untung bisa rugi. Saya setuju, walau saya tidak suka main judi. Haram.
Dan pilihan saya masuk kumpulan Pencinta Alam, membawa saya menjadi jiwa yang penuh petualang, ingin tahu hal-hal baru, termasuk tidak suka diam lama-lama dalam satu tempat. Maka saya benar-benar jadi perempuan yang tidak takut pada apapun.
Celakanya saya juga tidak takut pada orang tua (saat itu). Saya sering bolos kuliah. Pacaran. Pergi naik gunung, tiap 17 Agustus perayaan di puncak gunung tancap bendera merah putih, wuiiihh gagah deh ! Dan saya masuk TV.
Kakak saya yang lihat saya di TV, Ibu saya lihat kamar saya kosong dan baru sadar saya pergi bukan bermalam di rumah teman untuk belajar bersama. Lalu saya jadi makin suka-suka. Kasihan Bapak Ibu, tapi saat itu namanya anak muda selalu merasa benar.
Dan sama seperti ketika saya saat kecil yang membuktikan saya bisa juara menyanyi, walau nilai Matematika kebakaran selalu. Maka sayapun ingin membuktikan pada Bapak saya, baiklah…
Belum selesai lulus kuliah, di angkatan saya, sayalah yang pertama mendapat pekerjaan. Saya diterima bekerja di International Airport Soekarno Hatta (dulu Terminal A tahun 1990).
Kerja sepulang kuliah dan sampai malam, sehari masuk sehari libur. Saya juga yang paling muda di keluarga saya yang bisa cari duit. 3 orang kakak saya masih bergantung pada orang tua, saya anak bungsu bisa menabung di kaleng bekas kue kering Khong Guan jutaan rupiah.
Lalu saya bekerja di Bank American Express. Belum selesai kuliah, saya melamar dari koran semuanya, tidak ada yang namanya koneksi atau bantuan. Saya juga tidak mengerti karena saya rasanya tidak brilian, tiap tes kerja ada tes IQ saya kan bodoh ya, tapi kenapa di terima ?
Waktu SMA saya tes IQ dan cuma 119. Tapi saat saya tes lagi yang ke 2 IQ saya 160. Itu katanya sama dengan IQ Wolfgang Amadeus Mozart ( komposer dari Austria yang kebetulan juga tanggal lahirnya sama dengan saya, kebetulan saja ).
Saya kasih Ibu sebagian gaji saya dan ibu saya bilang “Banyak amat ??” dan saya senang. Bapak juga senang, kuliah saya yang telantar tidak pernah jadi pertanyaan besar. Paling Bapak cuma tanya, kapan di wisuda ? Itu saja.
Begitu pula hidup saya yang terus bergulir, selalu ingin hal baru dan merasa bahwa Tuhan selalu bersama saya. Apapun pilihan saya selama Tuhan yang membimbing, saya yakin selamat.
Kadang pilihan hidup saya ekstrim. Banyak kawan yang tidak berani melakukan pembaruan hidup. Buat saya hidup itu tiap saat harus ada pembaruan. Pembaruan ke arah yang positif tentunya.
Savangnya kebanyakan orang lebih suka berdiam di satu titik. Merasa aman. Merasa tidak mau berubah karena takut tambah parah.
Well, di saat saya salah pilih jalan, saya selalu memperingati hidup saya…tuh kan coba tidak usah macam-macam, hidup sudah bagus di rubah-rubah cari masalah baru….
Maka saya harus terus terang disini bahwa ‘dunia kecil’ kita dan kumpulan ‘dunia-dunia kecil kita’ adalah kita sendiri yang buat. Mau bagus atau tidak bagus, keren tidak keren, itu hasil karya kita.
Yang harus kita lakukan adalah, tetap BERTANGGUNG JAWAB dengan segala pilihan. Kalau jatuh atau salah, jangan pernah menyalahkan orang lain. Karena orang lain adalah bagian dari dunia kecil kita juga. Dimana kita juga yang pilih.
Apakah pernah saya salah pilih ? PERNAH. Pernah banget banget. Salah pilih pacar, salah pilih suami, salah pilih kawan, salah pilih bisnis, salah pilih makanan, salah pilih baju, sampai salah pilih Presiden…hehehe pernah….
Paling parah dan menyakitkan saya adalah ketika saya salah pilih mitra bisnis. Bisnis yang saya bangun hancur.
Apakah saya menyalahkan mitra saya yang salah langkah dalam mengambil kebijakan ? Ya tadinya saya ngomel ngamuk. Benci banget sama dia. Sudah saya beri masukan, dia malah balik meyakinkan bahwa pilihan dia non risk (tak berisiko ). Nyatanya berisiko dan kami gulung tikar.
Siapa yang salah ? SAYA. Karena saya kurang berjuang meyakinkan opini dia salah termasuk saya salah karena memilih dia sebagai mitra. Tapi mau bilang apa ? Terima dan hadapi.
Bayar semua hutang dan selesai. Itu artinya kita bertanggung jawab. Lalu jangan kapok, tapi waspada. Dan terus melangkah jangan frustasi. Frustasi hanya milik orang pengecut (iyalah…frustasi artinya kita putus asa, padahal Tuhan tetap memberi kita akal pikiran untuk keluar dari setiap permasalahan. Persoalannya, seberapa terbiasanya kita menghadapi masalah. Makin cengeng ya makin tidak pandai menyelesaikan masalah ).
Saya masih yakin bahwa teruslah melangkah teruslah memilih. Dalam hidup tidak akan ada habisnya sampai kita menutup mata. Kita tentu tidak ingin punya dunia kecil satu macam saja.
Misalnya selamanya berkawan dengan tetangga saja atau teman sekolah saja. Itu makanya ada pepatah seperti Katak Dalam Tempurung. Artinya tidak pernah lihat dunia luar hanya itu-itu saja. Kita bukan katak.
Kita bisa memilih jadi Elang atau Rajawali. Melihat dunia dari atas dan berhenti kapan saja untuk menikmatinya lalu terbang lagi. Indah bukan, daripada katak yang cuma dibalik tempurung yang besarnya mirip ukuran tubuhnya.
Dunia yang sempit tidak membuat kita sehat karena kita tumbuh dan berkembang. Bisa sesak nafas kekurangan ruangan dan oksigen. Buat dunia kita membesar, jangan mengecil…nanti kita terjepit karena sempit. Sakit.
Maka saya sudahi cerita saya tentang hidup dan dunia kecil kita yang harus kita buat besar seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan yang ada. Jangan takut. Jangan kebanyakan mikir.
Jangan kelewat hati-hati ( ingat kita kenal yang namanya jatuh, kepleset, kena setrum, keiris pisau, dan kecelakaan lantaran tidak hati-hati. Tapi dari situlah kita belajar untuk tidak mengulang kesalahan.
Pelajaran adalah guru yang baik. Saya setuju. Tapi jangan membayar terlalu mahal, Jatuh jangan sampai patah apalagi mati, kepleset jangan di jurang, kena setrum jangan di gardu listrik, keiris pisau jangan golok dan sebagainya ).
Saya sekarang bermukim di Amerika Serikat meninggalkan Indonesia rumah saya yang nyaman. Rumah keluarga dengan segala kemudahan. Mau kemana-mana dekat. Dari mal yang cuma selompatan hingga warung tegal yang sekedipan mata (ibaratnya ya…duh lebay).
Di Amerika saya mesti kerja keras, serba keras. Dari mulut yang tiap hari berbahasa Inggris padahal saya biasa bicara bahasa Betawi. Tidak ada pedagang kue gemblong, mpek-mpek dan ketoprak kesukaan saya.
Mau bikin juga tidak ada bahan-bahannya karena supermarket jauh. Tidak ada kawan Indonesia satupun. Jauh dari mana-mana, ke ATM saja mesti nyetir 2 jam. Mal ? Wah…boro-boro… biar kata Amerika yang katanya adidaya disini tempat saya cuma ada bar tempat cowboy kumpul.
Tidak semua Amerika isinya seperti di TV. Amerika itu luasnya minta ampun. Suka malas saya kalau ada kawan yang bilang, ohhh di Amerika ya sekarang ? Saya ada tante di Amerika. Huaduuhh…dikira Amerika seperti Belanda, Inggris atau Negara kita Indonesia.
Amerika itu ada 50 Negara bagian yang disebut states. Antar Negara bagian yang 50 itu masing-masing ada puluhan kota.
Antar kota di negara bagian yang sama saja saling tidak tahu/kenal apalagi antar negara bagian. Tiap negara bagian punya hukum dan kebijakan yang berbeda.
Presiden Amerika Serikat itu bisa dibayangkan pusingnya seperti apa. Bagi orang kebanyakan mereka heran melihat saya di usia separuh abad mau dan berani memulai hidup yang lain.
Saya belajar nyetir truk dan ATV ( motor bajak sawah ban 4 ), Saya bisa menembak laras panjang dan pendek. Berdiskusi dengan Walikota Negara Bagian di Amerika hingga bertahan dalam suhu minus 40 derajad saat musim salju (dinginnya kulkas tidak seberapa ).
Seperti juga cerita-cerita saya lainnya, ini merupakan upaya saya menciptakan dunia kecil saya menjadi besar. Banyak orang menyayangkan langkah yang saya ambil. Tapi Tuhan memberi saya jalan sehingga saya kini ada di Amerika.
Saya yakini semua karena Kuasa Nya. Maka saya akan terus melangkah dan memilih, hingga saya dipanggil oleh Nya.
Saya tidak ingin dunia yang diciptakan oleh Tuhan sia-sia. Tuhan menciptakan dunia untuk manusia. Adam dan Hawa ( Eva ) adalah gara-garanya.
Jadi saya ingin membuat dunia saya besar sebesar-besarnya dijalan Nya. Tuhan memberi fasilitas besar berupa dunia dan 9 planet. Mengapa kita hanya melihat tempurung dan daun kelor ?
Salam dari Hinsdale, Montana BIG SKY….