Yenny Wahid, pejuang demokrasi, pluralisme dan toleransi. Melalui The Wahid Institute ia melanjutkan nilai nilai, pemikiran dan cita cita intelektual ayahnya, Abdurrahman Wahid (Gusdur), yaitu membangun pemikiran Islam moderat
Pemilik nama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid ini lahir di Jombang pada 29 Oktober 1974, Yenny Wahid adalah anak kedua dari pasangan Abdurrahman Wahid dan Sinta Nuriyah. Ia mempunyai seorang kakak, Alisa Wahid dan dua orang adik, Anita Wahid dan Inayah Wahid.
Yenny Wahid cukup disegani, salah satu penyebabnya adalah karena pandangan dan juga pemikirannya mengenai perempuan dan kesetaraan gender. Dalam pertemuan dan diskusi publik, ia kerap memaparkan tentang pentingnya peranan perempuan dalam melawan radikalisme.
“Perempuan Indonesia itu punya banyak sekali potensi. Namun selama ini ada beberapa hambatan bagi perempuan untuk maju, salah satunya yaitu hambatan sosial” ucapnya pada sebuah acara diskusi.
Yenny memang berbeda dengan kebanyakan anak-anak kiai lainnya. Ia memilih bersekolah di sekolah umum. Setelah lulus dari SMA Negeri 28 Jakarta pada tahun 1992, ia menekuni studi komunikasi visual di Universitas Trisakti, Jakarta.
Setelah itu, ia bekerja sebagai wartawan koresponden untuk koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne). Ia sempat terlibat dalam tugas peliputan di daerah konflik Timor-Timur dan Aceh.
Profesinya sebagai jurnalis terhenti ketika ayahnya terpilih menjadi Presiden RI ke-4 pada tahun 1999. Ia memilih membantu sang ayah di istana negara dan menemani beliau dalam setiap kegiatannya.
Setelah Gusdur tidak lagi menjabat sebagai presiden, Yenny melanjutkan pendidikannya di Harvard, Amerika Serikat, dan memperoleh gelar Master in Public Administration
Karir
Setelah berhenti dari profesinya sebagai jurnalis, Yenny membantu sang ayah di istana negara. Pada masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, ia juga diangkat menjadi Staf Khusus Bidang Komunikasi Politik.
Tahun 2005 istri dari Dhorir Farisi ini sempat menjabat sebagai sekjen partai kebangkitan bangsa (PKB) untuk periode 2005-2010. Namun pada tahun 2008 ia diberhentikan oleh ketua umum PKB Muhaimin Iskandar.
Yenny kemudian memutuskan untuk mendirikan partai politik sendiri dengan nama partai kedaulatan bangsa (PKB). Ia menjabat disana sebagai ketua umum.
Pada tahun 2012, partainya kemudian melebur dengan Partai Indonesia Baru (PIB) pimpinan Kartini Sjahrir, hasil penggabungan dua partai ini kemudian dinamai partai kedaulatan bangsa Indonesia baru (PKBIB) dan Yenny kembali didaulat sebagai ketua umumnya.
Selain berkarir di dunia politik, sejak tahun 2004 hingga saat ini Yenny juga memimpin The Wahid Institute, lembaga yang didirikan oleh ayahnya.

Wahid Institute
Terkait dengan maraknya tindakan radikal dan intoleran di masyarakat akhir – akhir ini, Wahid Institute dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengadakan penelitian pada tahun 2016 yang kemudian dipublikasikan, hasilnya cukup mengejutkan.
Sebanyak 0,4 persen dari masyarakat Indonesia yang disurvei mengaku pernah melakukan tindakan radikal. Sementara sebanyak 7,7 persen mengaku bersedia melakukan tindakan radikal di masa depan.
Memang kelihatannya angka angka ini tergolong kecil persentasinya bila dibandingkan dengan jumlah seluruh masyarakat Indonesia.
Namun sesungguhnya jumlah tersebut sangat mengkhawatirkan, karena jumlahnya sama dengan total jumlah penduduk Jakarta ditambah Bali yang mencapai 11 juta jiwa.
Menurut Yenny, pendidikan rendah dan kesulitan ekonomi bukanlah faktor utama seseorang rentan teradikalisasi. Karena berdasarkan survei justru laki-laki yang masih berusia muda adalah kelompok yang paling rentan menjadi radikal. Sementara perempuan rentan menjadi intoleran.
Ia juga mengatakan bahwa Pancasila merupakan jawaban atas merebaknya paham paham radikal dan intoleran. Menurutnya kurangnya pemahaman dan pengamalan nilai nilai Pancasila di masyarakat membuat paham radikal dan intoleran tumbuh semakin subur.
Pancasila itu sudah baku, tidak bisa diubah ubah lagi, semua pihak harus terus menerus menjalin komunikasi yang baik satu sama lain dalam kehidupan sehari hari sehingga paham paham anti Pancasila bisa di minimalisir sejak dini.
“Seluruh nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila, harus diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jangan dibenturkan antara agama dan nasionalisme, keduanya adalah bagian dari sikap masyarakat sebagai umat yang beragama” Ucapnya dalam sebuah acara diskusi yang digelar oleh BARA UI
Menurutnya, peran serta kelompok masyarakat yang mayoritas ini atau yang lazim disebut sebagai kelompok silent majority, sangat dibutuhkan. Radikalisme dan intoleran harus ditangani bersama dan menjadi perhatian semua pihak.
Tidak bisa hanya menjadi tugas aparat negara saja, masyarakat juga harus terlibat dan ikut bertanggung jawab untuk mencegah tindakan radikal dan intoleran di lingkungannya masing – masing.
“Perlu ada upaya yang dilakukan secara sistematis untuk memperkuat kembali nilai nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari hari bangsa kita, dan membuatnya lebih relevan lagi terutama bagi kalangan anak muda, kegiatan dialog publik adalah salah satunya” ujarnya
Toleransi Beragama
Tak jauh beda dengan ayahnya, Yenny Wahid mewarisi pemikiran pemikiran Gusdur mengenai banyak hal seperti Pluralisme, keberagaman dan toleransi satu sama lain antar pemeluk agama.
“Semua warga negara Indonesia memiliki hak yang sama, termasuk juga dalam hal memeluk dan menjalankan ajaran agamanya, sesuai dengan yang diatur oleh undang undang. Untuk menghindari konflik, maka dibutuhkan kerjasama banyak pihak, terutama pemerintah daerah setempat” tandasnya dalam menanggapi konflik agama yang terjadi di berbagai daerah.
Menurut Yenny, komunikasi yang intens perlu dikedepankan, dan melalui dialog diharapkan bisa untuk merangkul semua pihak, karena kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air.
Terkait dengan ormas anti Pancasila, Yenny Wahid mengatakan bahwa semua warga negara harus tunduk pada peraturan dan Undang – Undang yang berlaku di negeri ini.
“Sekali lagi saya katakan, Pancasila itu bukan hanya sila Ketuhanan yang Maha Esa saja. Sekarang banyak orang bicara Pancasila seolah-olah isinya hanya Ketuhanan yang Maha Esa, padahal sila sila yang lain sama pentingnya, termasuk sila ke lima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” pungkas Yenny.
Mari kita rawat demokrasi di negeri ini dengan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari hari dan terus menerus membangun komunikasi yang baik di semua lapisan masyarakat, karena kita sama sama cinta Indonesia.