Itu kata seorang advokat muda yang namanya mulai dikenal di kalangan para aktivis maupun para pencari keadilan. Namanya Rinto Wardana, penampilannya selalu rapih dan terlihat ramah walaupun ia bisa juga tegas dalam memberikan pendapatnya terkait maslah hukum.
” Saya merupakan bungsu dari 5(lima) bersaudara. Ibu saya meninggal 16 tahun lalu, ketika saya masih SMA. Ayah saya meninggal tahun 2015. Sejak umur 10 (Sepuluh) tahun, saya harus berpisah dengan Ayah dan Ibu saya karena saya ikut kakak saya nomor 3 ke kota untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Akan tetapi, saya lebih banyak tinggal sendiri di rumah pondok yang saya dan teman-teman sekolah buat sendiri. Dan terbiasa hidup mandiri dan mengerjakan segala sesuatu sendiri” Rinto memulai kisahnya dalam suatu wawancara jarak jauh dengan saya melalui korespondensi.
Iapun menceritakan bagaimana sosok dirinya tumbuh dengan karakter yang dimilikinya saat ini. ” Waktu saya masih kecil, Bapak dan Ibu saya selalu mengajarkan kepada saya dan kakak saya nomor 3 dan nomor 4 sedangkan kakak yang nomor 1 merantau dan nomor 2 sudah menikah kala itu. Ajaran Bapak dan Ibu saya adalah untuk makan bersama secara lesehan. Biasanya setelah makan, bapak dan ibu saya akan membahas sesuatu hal yang terjadi menyangkut keluarga, menyangkut permasalahan yang sedang kami hadapi. Bapak dan ibu tidak akan pernah membahas suatu masalah sebelum kami semua selesai makan karena membahas masalah sebelum makan itu pantang karena akan mengakibatkan seseorang yang dibahas tidak bisa makan. Semua teguran, nasehat dan kesepakatan akan kami lakukan ketika selesai makan dengan segala hak untuk berpendapat dan mengusulkan keputusan kepada ayah atau ibu” sungguh ajaran yang sangat sarat arti kekeluargaan disamping mengajarkan arti demokrasi, ‘mendengar’ dan’berpendapat’ secara berimbang! Hal inilah yang menjadikan ia memahami sejak usia muda apa arti berdemokrasi, urun rembug, dan saling menghargai pendapat.
Apakah cita-citanya sejak kecil emmang ingin menjadi advokat ? Rinto memang anak yang patuh dan sangat mendengarkan nasehat orang yang dianggapnya sebagai panutan di luar rumah yaitu gurunya. ” Awalnya saya bercita-cita untuk menjadi Diplomat. Sehingga ketika pengisian formulir sebagai mahasiswa undangan di satu Universitas Negeri di Kota Jember, saya mengambil FISIP HI. Akan tetapi karena seorang guru saya menyarankan untuk masuk fakultas hukum, maka saya memutuskan untuk masuk ke fakultas hukum” jelasnya tetang perjalanan yang mengantarkan ia memilih advokat sebagai profesi saat ini.
“Sejak kecil saya sudah sensitive dengan diskriminasi. Sehingga jika saya mengalami atau menemukan hal-hal yang tidak adil menurut saya, maka saya akan melakukan pembelaan habis-habisan atas hal itu” paparnya dengan tegas. Topik yang kerap kali hadir belakangan ini mendapat perhatian serius darinya. “Saya mengagumi sepak terjang beberapa lawyer senior di Indonesia. Dan saya senang pada akhirnya dapat bertemu langsung dengan beliau-beliau untuk mengungkapkan kekaguman saya ” ujar Rinto, yang suatu saat iapun berharap bisa mengikuti jejak para lawyer senior yang dikaguminya.
Rinto yang beberapa kali diundang oleh stasiun Televisi untuk memberikan pendapat mengenai bidang hukum, ketika ditanya apa yang menjadi suka dan dukanya ketika menjalankan profesi tersebut, “Lawyer itu tidak punya gaji tetap. Ketika memutuskan benar-benar untuk menjadi profesional lawyer saya menyadari bahwa saya akan benar-benar mengalami tantangan untuk tetap survive. Kebutuhan keluarga adalah yang paling utama untuk dipenuhi. Jika hal ini tidak terpenuhi maka dapat dipastikan, saya gagal menjadi lawyer. Kasus terberat yang membawa kesan mendalam sampai saat ini adalah ketika saya harus menghadapi klien saya yang menuntut biaya perkara dikembalikan karena mereka memutuskan kuasa hanya karena mereka merasa tidak puas atas service yang saya lakukan. Padahal saya sudah sangat transparan dalam menangani kasus itu bahkan membawa mereka bertemu dengan penyidik yang menyidik perkara tersebut. Tetapi karena biaya perkara tersebut selalu diperjanjikan dan dituangkan dalam usulan jasa hukum maka saya tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan walaupun akhirnya, permasalahan ini membuat tidak nyaman juga” ujar Rinto tentang kekecewaannya dikarenakan ketidakpahaman kliennya terhadap jasa yang sudah ia lakukan.
Namun itu tak menyurutkan langkahnya, profesi advokat menurut Rinto cukup cerah di masa mendatang asalkan dibarengi dengan profesionalitas. “Saat ini, pasca diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, animo orang untuk menjadi advokat sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dibukanya pendidikan advokat dimana-mana bak jamur dimusim hujan. Kemudian dibuktikan juga tingginya keikutsertaan orang dalam ujian advokat. Tenaga advokat yang banyak dapat menjawab kesenjangan terhadap ketersediaan advokat ditengah masyarakat akan tetapi juga semakin mempersempit lahan untuk digarap. Tetapi kembali lagi ke profesionalitas-an. Profesionalitas dan peningkatan kualitas diri merupakan suatu tuntutan yang harus dimiliki oleh lawyer. Kalau tidak demikian maka lawyer tersebut akan terlindas oleh persaingan”
Ketika ditanya tentang peran istrinya, Rinto dengan sigap menjawab bahwa peran istrinya dalam menunjang perjalanan kariernya sangat berperan besar. “Istri saya ibu rumah tangga biasa. Saya tidak mau mempercayakan pengurusan anak ke pembantu. Namanya juga pembantu tugasnya hanya membantu bukan mengambil alih tanggungjawab. Istri mendukung karier saya” rupanya Rinto sangat percaya bahwa ajaran Bapak dan Ibunya tentang keluarga inti telah menjadi prinsipnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Sosok Rinto disamping sebagai advokat kerap dijumpai sebagai aktivis yang menentang ketidakadilan yang membikin ‘macet’ jalannya demokrasi di Indonesia. Bersama beberapa kawan ia kerap berdiskusi dan turun langsung menyuarakan aspirasi. “Pelaksanaan demokrasi di Indonesia sudah sangat baik dan pemerintah benar-benar menjamin kebebasan berdemokrasi. Hanya saja, karena terlalu membiarkan demokrasi itu berjalan sendiri tanpa kontrol tegas maka akibatnya banyak yang salah kaprah. Dikira karena demokrasi maka kita bebas menghina, memaki, memfitnah seseorang tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan!” ujar Rinto tentang ‘bablas’ nya makna demokrasi.
Isue hangat jelang Pemilihan Presiden juga menjadi sorotan khusus bagi Rinto. Ia memiliki pandangan tersendiri mengenai persaingan antara dua kandidat yaitu Joko Widodo sang incumbent dengan Prabowo Subianto yang menjadi kandidat penantang. ” Rivalitas Jokowi dan Prabowo dalam pilpres adalah hal yang sangat wajar dalam negara demokrasi. Persaingan sebenarnya adalah bukan perebutan kursi RI 1 tetapi perebutan sumber ekonomi. Jika tidak ada rivalitas maka tidak ada demokrasi. Kekuasaan itu tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan sumber ekonomi. Jika hanya untuk berkuasa, saya kira orang-orang tidak akan semasif ini untuk menjadi presiden. Tetapi lewat kekuasaan, siapa saja dapat mengatur dan mengendalikan arah perekonomian dan menentukan siapa yang menguasai dan mengaturnya. Jika pemerintahannya bersih maka akan sangat merugikan pengusaha-pengusaha yang terbiasa bermain kotor. Sehingga untuk melanggengkan praktik kotor, apa saja mereka perbuat untuk menjatuhkan dan menyingkirkan lawan politik yang bersih itu. Tapi bagi sosok yang tidak memiliki kepentingan lain selain daripada untuk menyejahterahkan rakyat maka perebutan kursi RI1 bukanlah hal yang sangat memberatkan karena terpilih atau tidak, itu adalah hak rakyat. Toh rakyat sendiri yang merasakan kemajuan dan progres dari pembangunan yang dilakukan. Yang penting untuk di camkan adalah jangan sampai kontestasi dalam pilpres ini merusak persaudaraan, merusak kerukunan apalagi sampai mengorbankan kebhinnekaan hanya untuk memaksakan syahwat berkuasa. Bawaslu itu akan sulit untuk melakukan tugasnya jika haluan politiknya sudah terkontaminasi oleh haluan politik salah satu capres. Ini sangat berbahaya!” dengan semangat Rinto menjelaskan pendapatnya tentang dua kandidat tersebut dan iklim ‘pertarungan’ dua massa kandidat tersebut.
Sang advokat muda yang tentunya masih segar dan penuh aspirasi, sangat dinantikan di negara kita ini. Lantas apa komentar Rinto tentang maraknya advokat muda yang banyak wira wiri di medsos memberikan pendapat soal hukum ? ” Advokat muda dan fresh graduate hendaknya jangan puas dengan ilmu yang dimiliki. Kampus memang menyediakan ilmu bagi mahasiswanya tetapi kampus terbaik adalah pekerjaan sebagai lawyer tersebut dimana pekerjaan itu teraktualisasi dikantor, di pengadilan, dilingkungan dan ketika berhadapan dengan klien. Terus asah kemampuan analisa, logika dan penguasaan asas-asas hukum sebagai modal dasar”
“Menjadi manusia Indonesia itu tidak sulit, ikuti aja rule. Rule yang mengatur hidup kita sebagai Indonesia. Bukan rule yang mengatur dan berlaku bagi hidup bangsa lain. Kita sudah sangat kaya dengan budaya toleran, tenggangrasa, saling menghargai dan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Mengapa harus mengadopsi budaya bangsa lain yang tidak toleran dengan pluralitas?” demikian Rinto sang advokat muda menutup wawancara jarak jauh menyampaikan pendapatnya. Selalu santun, dibalik sikap tegasnya. Sungguh beruntung Indonesia bila memiliki advokat-advokat muda selayaknya Rinto Wardana, SH.,MH.
Teruslah memberi sinar bro Rinto untuk gelapnya demokrasi yang beranjak dewasa !


