Media Sosial, Arena Pertempuran Masa Kini

0
682

Media sosial sudah menjadi sebuah kebutuhan, salah satu platform media sosial terbesar adalah Facebook (FB).  Menurut Alexa.com, facebook menempati posisi ketiga website yang paling sering diakses oleh masyarakat di seluruh penjuru dunia sepanjang 2017, setelah google dan youtube.

Dari segi pengguna layanan, Indonesia berada di urutan ketiga terbesar setelah India dan Amerika. Menurut data, per Juli 2017 pengguna facebook di Indonesia mencapai angka 115 juta pengguna. Dari angka tersebut, Jakarta menempati posisi ketiga sebagai kota dengan pengguna facebook terbanyak.

Melihat banyaknya jumlah  pengguna media sosial di tanah air ini, fenomena baru pun muncul, media yang tadinya hanya digunakan sebagai sarana sosialisasi, komunikasi dan interaksi bagi masyarakat digital atau biasa disebut sebagai netizen, kini berubah fungsi menjadi arena pertempuran untuk mendominasi.

Masing-masing pihak yang bertikai menyusun strategi dan amunisi untuk memenangkan perang udara ini, demi kepentingan kelompoknya  terkadang eksploitasi energi anarkis pun dilakoni.

Saya sengaja menyebutnya dengan istilah perang dan pertempuran karena ini benar-benar sebuah kejadian pertempuran atau peperangan nyata yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan di sekeliling kita. Perang ini terkadang memang hanya sebatas perang virtual di dunia maya, namun banyak juga yang berujung pada aksi fisik berupa kekerasan di dunia nyata.

Mungkin sebagian pembaca merasa terlalu berlebihan menganalogikan situasi di media sosial kita saat ini sebagai sebuah peperangan, namun faktanya masing-masing pihak yang berduel kepentingan pun menyebutnya sebagai sebuah peperangan yang harus dimenangkan.

Bahkan penamaan kelompok pendukung masing-masing kubu sering menggunakan istilah militer. Seperti  laskar cyber, cyber army, cyber troops, pasukan media,dan istilah-istilah lain yang umum digunakan dalam dunia peperangan konvensional

Dalam sebuah ceramah-yang videonya telah banyak beredar di media sosial-seorang pemuka agama berujar : “Handphone mu itu lebih dahsyat dari AK47 nak..”.

Ungkapan tersebut ada benarnya mengingat perkembangan teknologi informasi yang kian pesat tanpa bisa dibatasi, memungkinkan setiap orang untuk menuliskan apa saja di laman media sosial miliknya dan kemudian menyebar luas menyerang pihak yang dianggap sebagai lawan.

Efek postingan di media sosial bisa menjatuhkan, membunuh karakter,  menjebloskan orang kedalam penjara, bahkan bisa berakibat pembunuhan secara fisik, memicu perang saudara hingga  menggulingkan seorang pemimpin negara. Semuanya bisa dilakukan lewat media sosial yang dapat diakses melalui sebuah handphone oleh siapa saja.

Zaman proxy war seperti sekarang, handphone bisa berfungsi sebagai senjata dalam arti yang sebenarnya, yaitu untuk melindungi kepentingan, menyerang, melukai bahkan untuk membunuh lawan secara fisik melalui opini dan persepsi yang dibangun di media sosial.

Apalagi bila ditambahkan narasi-narasi yang mengandung emosi, maka tanpa dikomandoi akan ada orang lain yang mengeksekusi. Handphone yang lebih dahsyat dari AK47 ini bila digunakan dengan cara yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan tatanan kehidupan bermasyarakat, bisa dipastikan akan menimbulkan perpecahan yang mengancam masa depan kita sebagai warga negara yang selama ini hidup harmonis.

Media sosial pada akhirnya mengubah pola komunikasi masyarakat kita dan membangun sebuah sistem baru yang kerap disebut cyberdemocracy atau demokasi siber yang mengisyaratkan proses kebebasan, partisipasi, maupun kontestasi secara daring.

Sebagai ruang publik yang juga memiliki peran dalam proses demokrasi, media sosial merupakan ruang demokratis masyarakat untuk menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka secara diskursif.

Namun media  sosial yang pada awalnya dianggap sebagai era baru cyberdemocracy, pada akhirnya berubah menjadi ruang publik yang mengkhawatirkan, baik bagi netizenmaupun bagi negara.

Sebagian orang beranggapan bahwa mengemukakan pendapat  dengan agresi verbal  di media sosial adalah bentuk dari kritikan dan opini terhadap isu-isu tertentu atau publik figur yang menurut mereka harus dikritik karena dianggap tidak sesuai sehingga perlu ‘diluruskan’.

Ditambah lagi dengan suhu politik yang kian memanas menjelang pilkada dan pemilihan umum 2019 membuat perang ini semakin gencar dan sengit, sehingga kita semua perlu waspada.

Penggiringan opini yang ‘dibumbui’ dengan ujaran kebencian akan semakin ramai di media sosial dan berpotensi menimbulkan konflik dan kerusuhan antar pendukung kepala daerah atau kepala negara.

Memang setiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat terutama  di akun media sosialnya sendiri, namun dibutuhkan kecerdasan dan kedewasaan dalam menyampaikan opini atau pada saat berdiskusi dengan orang lain. Kebebasan dalam berpendapat hendaknya dilakukan dengan tetap menjaga etika dan budaya yang ada dalam tatanan masyarakat kita.

Sayangnya sebagian besar masyarakat kita ternyata belum cukup dewasa dalam menyikapinya sehingga banyak yang kebablasan.  Konten-konten berisi ujaran kebencian dan berita bohong pun dianggap lumrah digunakan sebagai amunisi untuk menyerang lawan.

Ancaman perpecahan akibat perang di media sosial bukan sekedar isapan jempol semata, hal ini nyata terjadi di depan mata. Tentu masih segar dalam ingatan kita betapa panasnya pertempuran memperebutkan posisi gubernur DKI Jakarta, terjadi peperangan yang sengit antara masing – masing kubu peserta.

Bahkan dihadapan pendukungnya seorang calon gubernur menyebut bahwa persaingan politik dalam pilgub DKI bagai ‘perang badar’.

Mungkin bisa dikatakan ini adalah puncak dari maraknya ujaran kebencian yang pernah terjadi di negeri ini. Saling hujat, saling menjatuhkan, diiringi dengan ujaran kebencian yang menghina etnis maupun agama, tokoh agama, pejabat pemerintah, hingga aparat kepolisian turut jadi korban, bahkan ancaman pembunuhan diucapkan terang-terangan dan terbuka di media sosial tanpa beban.

Kedua kubu yang awalnya perang opini dan persepsi di dunia maya berlanjut ke aksi fisik di dunia nyata, mulai dari persekusi hingga pengerahan massa yang berujung pada pembakaran mobil polisi dan penjarahan minimarket serta konflik  lain yang terjadi antar pendukung.

Meskipun pilkada DKI Jakarta telah usai namun dampak dari perang tersebut masih terasa hingga kini, kedua kubu pun masih terus bertikai dan enggan untuk disatukan kembali.

Pertempuran opini dan ideologi yang tadinya berlangsung di udara, bermetamorfosis ke dunia nyata dimana para pemuka agama menjadi korban dan dianiaya. Sebagian pihak menganggapnya hanya kasus kriminal murni, namun penyebaran ideologi ekstrim, hasutan intoleransi dan  ujaran kebencian di media sosial turut mempengaruhi.

Apabila kondisi ini tidak segera diatasi, tinggal menunggu waktu konflik horizontal akan benar-benar terjadi tanpa bisa kita halangi.

Media sosial berperan dan terlibat dalam mengacaukan cara berfikir, mengubah perilaku, budaya dan tatanan masyarakat kita. Dahulu media sosial tempat yang  ramah untuk mencari ilmu, bertukar pendapat atau berdiskusi, sekarang jangan harap bisa berdiskusi atau berdebat secara sehat di media sosial.

Pendapat yang kita sampaikan dengan sopan pun akan dibalas dengan makian dan kata-kata kasar, hanya karena tidak sesuai dengan pemikiran dan pemahamannya, ujung-ujungnya lawan bicara akan mengejek agama, suku dan ras. Sopan santun, toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan seolah sirna begitu saja.

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Purnomo mengatakan : “Dari ribuan kasus kejahatan siber yang dilaporkan kepada pihak kepolisian, mayoritas adalah pencemaran nama baik dan hate speech ataupun tindak pidana diskriminasi berdasarkan SARA melalui media sosial dan online”

Berkaca dari kasus demi kasus yang terus terjadi, ternyata media sosial menciptakan ilusi dan  kepercayaan yang semu, membuat sebagian besar penggunanya kurang terbuka terhadap gagasan baru.

Bahkan fakta yang tersaji di depan mata dianggap sebagai kebohongan, sementara berita bohong, hasutan dan propaganda dibela ‘mati-matian’ karena dianggap sebagai kebenaran. Media sosial menanamkan sebuah kepercayaan yang melampaui kenyataan.

Masihkah kita peduli untuk menjaga negeri ini dari malapetaka disintegrasi ?

Jenderal Gatot Nurmantyo pernah menyampaikan dalam sebuah diskusi bahwa pihak asing akan menikmati setiap pertikaian yang terjadi di bumi pertiwi, bila disintegrasi benar-benar terjadi, dengan mudah setiap jengkal tanah yang kaya ini bisa mereka kuasai.

Oleh sebab itu perlu sinergi antara pemerintah dan segenap elemen masyarakat yang masih peduli pada NKRI, segera bertindak sebelum hal yang lebih buruk benar-benar terjadi !

Pemerintah bersama instansi pendidikan perlu memperbanyak literasi digital, zaman ini masyarakat bukan hanya konsumen tetapi juga sebagai produsen informasi, sehingga perlu segera digalakkan kampanye literasi digital.

Pengetahuan dan kemampuan memproduksi informasi saja tidak cukup, masyarakat digital kita harus dibekali dengan pengetahuan tentang etika, wawasan kebangsaan dan nilai nilai budaya yang menghargai perbedaan.

Literasi digital akan membuat masyarakat kita semakin cerdas, memiliki kemampuan untuk memahami dan memilah berbagai jenis informasi.  Dengan begitu nantinya mereka bisa berpartisipasi dalam menyuarakan aspirasi, opini, pendapat maupun berdiskusi dengan bijak dan bertanggung jawab.

Para politisi, calon kepala daerah dan kalangan birokrat pun harus memahami bahwa persatuan bangsa adalah tanggung jawab kita bersama yang harus dijunjung tinggi diatas kepentingan pribadi.

Oleh sebab itu tidak sepatutnya intrik dan permusuhan terus dikobarkan sebagai senjata untuk memperoleh kekuasaan, dan tidak semua hal harus dipolitisasi melalui media sosial untuk menggalang simpati dan dukungan.

Kehidupan demokratis warga negara harus dilakukan secara diskursif dengan semangat toleransi dan mengedepankan penghormatan kepada setiap individu yang memiliki hak yang sama dan setara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Media sosial dianggap sebagai ruang demokrasi namun ujaran kebencian, intimidasi maupun caci maki malah mendominasi. Hoaks, provokasi dan intoleransi leluasa digunakan sebagai amunisi, masih pantaskah kita sebut sebagai cyberdemocracy ? atau lebih tepat disebut sebagai arena pertempuran masa kini ?