SAYACINTAINDONESIA — Audisme, sebutan untuk sikap diskriminasi terhadap kaum penyandang disabilitas. Faktanya, tidak hanya di Indonesia akan tetapi di negara Korea pun kasus yang menindas para penyandang disabilitas juga kerap terjadi. Sangat disayangkan karena audisme terkadang dilakukan oleh orang yang seharusnya berada di garda paling depan untuk menghormati dan melindungi kaum difabel. 

Dalam fenomena yang terjadi di Korea, keterbatasan penerjemah bahasa isyarat yang menjadi salah satu catatan kendala terbesar yang dihadapi para penyandang tuli di Korea Selatan. Tidak hanya itu, diskriminasi terhadap kelompok disabilitas bukan hanya dihadapi oleh para Tuli. Para penyandang autisme juga menghadapi tantangan tersendiri.

Antara Harapan dan Kenyataan

Sangat salah jika kita merasa sebagai orang yang lebih baik atau sempurna. Terminologi “kita” versus “mereka” menunjukan dikotomi yang tak hakiki. Pembedaan “orang yang mendengar” dengan “orang tuli” sesungguhnya tidak menjadi jaminan sebuah “kehebatan”.

Ada banyak cerita di dunia nyata yang menjadi saksi istimewanya orang-orang yang dianggap terbuang hingga beberapa diangkat ke dalam layar lebar.

Marathon (2008)

Sumber: IMDb

Film ini menceritakan tentang seorang pelari marathon bernama Bae Hyeongjin yang didiagnosa memiliki autistik saat berusia empat tahun. Dalam film ini memperlihatkan bagaimana Ibunya memberikan dukungan penuh pada Hyeongjin untuk belajar beragam olahraga agar dapat berkompetisi secara sehat dengan yang lain. Hyeongjin berhasil menyelesaikan full marathon.

Silenced (2011)

Sumber: IMDb

Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata ini sebelumnya sudah terlebih dulu diangkat menjadi sebuah novel berjudul The Crucible karya Gong Jiyoung (sumber: IMDb) yang bercerita tentang kasus pelecehan seksual terhadap para siswa disabilitas. Lalu setelah diangkat ke sebuah film yang diperankan oleh Gong Yoo, Kasus ini kembali mencuat dan menarik perhatian publik sehingga si pelaku kejahatan seksual disidang dan mendapat hukuman.

Belajar dari peristiwa yang terjadi seperti ini, di dekat kita. Belajar melalui kejadian yang menimpa di Korea sana, dan belajar melalui film tersebut untuk tidak berhenti bersuara terhadap kasus-kasus diskriminasi. 

Mungkin mulut-mulut bisu tidak dapat bersuara, tetapi pendekatan dari sisi budaya seperti film contohnya, tidak akan pernah sia-sia. Karena, tidak ada kata terlambat untuk memulai.

Gambar: JustWatch